Opini

Filosofi Berpuasa Pada Hari Besar Umat Beragama

Oleh: Dr dr Ketut Putra Sedana, Sp.OG – Praktisi Kesehatan dan Pengamat Sosial-Politik

BULAN MARET 2025 ini bulan istimewa, karena pada tanggal 29 Maret 2025 jatuh sebagai Hari Raya Nyepi yang diperingati oleh umat Hindu, dan di bulan yang sama tanggal 31 Maret untuk saudara kita umat Muslim merayakan hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari raya kemenangan yang sebelumnya sudah mulai menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan.

Hal ini istimewa, karena pada perayaan Nyepi untuk umat Hindu dituntut untuk melakukan catur brata penyepian, yang di dalamnya bermakna mengistirahatkan buana agung dan buana alit.

Nah dalam buana alit yaitu diri kita sendiri, dituntut untuk kita berpuasa. Juga pada umat Muslim yang juga menjalani ibadah puasa. Setiap agama selalu mengajarkan untuk belajar mengendalikan diri dengan berpuasa.

Dalam kehidupan kita di masyarakat, sebagai umat beragama yang kita lihat umat Hindu melalui hari raya Nyepi dan umat Muslim pada menjelang hari raya Idul Fitri satu bulan melakukan laku puasa.

Dan dalam konteks yang lebih umum, ternyata puasa memiliki manfaat besar untuk kehidupan kita.

Jika kita menoleh ke belakang jelas bahwa puasa cukup dikenal oleh para Rsi kita dan dilaksanakan oleh umat Hindu, bahkan oleh umat-umat lain juga, karena puasa diyakini memberi keuntungan-keuntungan baik fisik atau mental kepada pelakunya, bahkan puasa merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Filsuf besar bangsa Yunani seperti Socrates, Plato, Phytagoras, selalu berpuasa sebelum menulis karya-karya filsafat. Mereka tahu berpuasa itu merangsang kekuatan mental dan mereka berpendapat “perut yang penuh tidak suka berpikir.”

Dan kenyataannya itu benar, ketika selesai makan, apalagi makan banyak, tiba-tiba kita terasa ngantuk dan mau tidur. Hal ini tentunya dikarenakan saat habis makan, maka aliran darah semuanya dipusatkan ke organ pencernaan, sehingga secara relatif darah di otak akan berkurang.

Dengan berkurangnya darah sudah pasti akan menurunkan oksigen di otak juga yang berakibat ngantuk. Phytagoras ketika pergi ke Mesir untuk mempelajari ilmu spiritual okultisme, pertama-tama ia harus menjalani puasa selama 40 hari, supaya bisa menangkap dan menerima ilmu yang didapatkannya.

Orang-orang pandai di zaman dulu sangat mengetahui keampuhan puasa untuk mencegah dan mengobati semua jenis penyakit. Tidak salah kalau dikatakan bahwa puasa adalah metode pengobatan universal bagi penyakit.

Hipokrates, tabib bangsa Yunani, yang terkenal sebagai bapak ilmu kedokteran yang hidup sampai usia 90 tahun mengatakan dalam tulisannya:
”Setiap orang memiliki dokter dalam dirinya, kita hanya membantu dokter itu bekerja. Makan ketika kamu sakit hanyalah memberi makan kepada penyakitmu itu.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan dan melihat bahwa tidak ada orang yang sakit karena berpuasa. Justru kenyataannya, pada mereka yang sakit untuk kesembuhannya harus melakukan puasa atau pembatasan jenis makanan-makanan tertentu.

Kenyataannya tubuh memang harus diistirahatkan, dan salah satu cara untuk mengistirahatkan tubuh kita adalah dengan berpuasa. Saat tubuh istirahat untuk mencerna, maka tubuh kita dengan sistem autophagy akan membersihkan tubuh itu sendiri, sehingga ketika kita selesai melakukan puasa, justru bukan lemas yang kita rasakan, tapi kesegaran fisik dan pikiran yang lebih baik.

Fenomena yang muncul di masyarakat, menjelang hari raya baik itu Nyepi untuk umat Hindu, dan umat Muslim berdesak-desakan dan berebut di pasar-pasar dan supermarket untuk membeli bahan makanan dan makanan yang sudah jadi sebagai “bekal” di hari raya. Padahal saat hari raya tersebut justru kita disarankan untuk berpuasa.

Puasa juga dikatakan dapat menunda proses penuaan tubuh, sebab puasa memberi kesempatan kepada sel, saluran pencernaan, dan enzim-enzim dalam tubuh beristirahat selama 14 jam. Hal ini membuat radikal bebas dalam tubuh lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak puasa.

Radikal bebas bisa memicu berbagai penyakit degeneratif. Pengistirahatan sel-sel tubuh itu bisa optimal asalkan pengaturan makan selama puasa dilakukan secara benar. Kesalahan sering timbul karena menerapkan teori “balas dendam” dengan mengonsumsi makanan sebanyak-banyaknya saat berbuka puasa.

Agar dampak positif puasa untuk membuat tubuh sehat, maka jangan makan berlebihan pada saat berbuka puasa.

Menghentikan mengonsumsi makanan selama periode tertentu memberikan kesempatan kepada tubuh untuk membersihkan diri sendiri dan menghilangkan racun-racun yang terkumpul. Juga karena tenaga tidak digunakan untuk mencerna, maka tenaga ekstra itu diarahkan ke otak untuk mendapatkan proses jiwa yang lebih tinggi.

Para ahli sepakat bahwa puasa dapat dipakai sebagai salah satu metode pembersihan diri yang tentunya akan meningkatkan kesehatan diri. Bahkan lebih dari itu, puasa bisa dimasukkan sebagai salah satu strategi anti penuaan.

Secara spiritual, puasa yang berasal dari kata “upa” yang berarti dekat, dan “wasa” yang berarti Tuhan, memiliki arti mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa memang salah satu cara untuk kita mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam puasa ada proses latihan, ya latihan mengendalikan diri, karena sejatinya orang yang hidupnya menjadi “bermasalah” justru karena tidak mampu mengendalikan dirinya.

Contoh dalam kehidupan kita sangat banyak: perkelahian, pembunuhan, kasus korupsi, termasuk sakit dan sebagainya—semua itu disebabkan karena tidak mampu mengendalikan diri.

Untuk diingat, hidup ini adalah proses belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mulailah belajar “berpuasa” untuk bisa mengendalikan diri kita, sehingga kita akan terhindar dari hal-hal buruk yang tidak kita inginkan demi kebaikan dan kedamaian kita bersama. ***

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button