Tanggapan Atas Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang Menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” atau “The New Hongkong”
Oleh: Sugi Lanus – Filologi dan Budayawan
DALAM berbagai pemberitaan media disebutkan Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk membangun North Bali International Airport. Presiden juga menyebut akan menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” atau “The New Hong Kong.”
Tentu perlu diapresiasi “semangat membara” presiden baru kita, Presiden Prabowo Subianto. Tetapi, mewacanakan arah pembangunan Bali menjadi “The New Singapore” atau “The New Hong Kong” tidaklah bisa sesederhana itu. Pasti akan menuai kritik dan kontraversi masyarakat Bali.
Pulau Bali dan pendudknya bukan wilayah Nusantara yang ahistoris. Peradaban Bali membentang dari awal milenium pertama masehi, sudah memiliki keunikan budaya dan teologis. Secara bertahap alam Bali yang subur dan membentang indah di akhir milenium pertama dikembang secara sangat strategis sesuai lanskap alamnya, digarap menjadi persawahan padi dengan sistem irigasi berbasis pengetahuan dan kearifan lokal: Subak. Setidaknya dari 1200 tahun lalu masyarakat Bali bertumbuh dengan kesadaran desa pakraman dan adat yang ketat menjaga alam dan budayanya. Sama sekali berbeda secara historis, budaya, dan religiositasnya jika dibandingkan dengan Singapore dan Hongkong.
Siapapun yang memimpin Bali dan Indonesia, sudah semestinya memiliki pemahaman budaya, memililik apresiasi kultural terhadap keunikan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia yang kaya akan warisan budaya dan keindahan alam. Dalam berbagai diskusi budaya dan kepariwisataan, setidaknya semenjak tahun 1970-an, para pemikir kebudayaan dan perintis pariwisata Bali menegaskan bahwa Bali tidak bisa disamakan atau dikonsepkan menjadi “New Hong Kong” atau “New Singapore,” mengingat karakteristik dan daya tarik berbeda yang dimiliki pulau ini.
Singapura dan Hong Kong, sebagai pusat ekonomi dan keuangan utama di Asia, berkembang dengan fokus pada infrastruktur modern dan pembangunan wisata buatan. Kedua kota tersebut memanfaatkan keterbatasan sumber daya alam untuk membangun gedung-gedung tinggi dan area bisnis yang maju. Dengan berbagai “maneuver reklamasi” untuk perluasan kota, mereka lewat pembiayaan yang bombastis menghadirkan pengalaman wisata buatan yang berpusat pada kemajuan teknologi dan memproduksi budaya pop untuk dikonsumsi oleh masyarakat urban. Kedua pusat ekonomi tersebut tentu tidak serta merta cocok menjadi acuan dalam mengembangkan kepariwisataan Bali.
Setidaknya, semenjak tahun 1970-an, ketika kawasan “tertutup” Nusa Dua dikembangkan, Bali telah mencanangkan arah pariwisata Bali adalah “pariwisata budaya”. Ini mesti dilihat dan dibaca kembali — silahkan membuka-buka kembali dokumen perencanaan Pulau Bali yang dikaji secara serius di era tahún 1970-an, serta berbagai kajian dampak pariwisata terhadap lingkungan dan dampak budaya Bali yang terus dibuat oleh pemerintah Bali bersama para budayawan dan akademisi, setidaknya dari Repelita I sampai sekarang. Kajian-kajian tersebut berbicara sebaliknya, berbeda dengan Hongkong dan Singapore, daya tarik utama Bali terletak pada kekayaan alam dan budayanya yang beraneka ragam. Sebagai pulau yang dikenal dengan keindahan pantainya, keragaman upacara agamanya, serta seni dan budaya tradisional yang tetap lestari, Bali menawarkan pengalaman yang otentik dan berbeda dibandingkan destinasi lain di dunia. Sejarah panjang kesenian dan budaya Nusantara yang mewarnai Bali membuatnya unik, memancarkan pesona yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Presiden Prabowo dan kementerian terkaitnya semestinya mendorong pariwisata budaya yang menekankan pentingnya pelestarian seni, budaya, adat istiadat agama Hindu Bali dalam menarik lebih banyak wisatawan berkelas yang menghargai keberagaman, harmoni dengan alam, harmoni dengan manusia lain, dan mengapresiasi keimanan atau aspek Ketuhanan menurut tradisi Hindu Bali yang terekspresikan dalam liturgi dan seni budaya yang sangat kaya. Ini artinya, kebijakan pemerintah pusat dan daerah sudah seharusnya tidak grasa-grusu berwacana, semestinyalah secara sinergia memastikan bahwa membangun Bali tidak hanya berfokus pada infrastruktur fisik belaka. Harus secara baik dan mendasar memahami, secara etik dan filosofis mendasarkan wacana pembangunan Bali, bahwa pembangunan Bali koridornya adalah pelestarian alam, nilai-nilai budaya, dan religiositas yang dianut masyarakat Bali.
Masyarakat Bali dari awal kepariwisataan memiliki jargon: “Pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata” — ini mesti direnung secara serius. Jika “Bali untuk pariwisata”, maka Pulau Bali dijadikan sapi perah pemerintah pusat dan para pengusaha, semata-mata Bali dijadikan sumber penghasilan, berkecenderungan abai mempertimbangkan dampak budaya, agama, dan lingkungannya, atas nama pertumbuhan income dari pariwisata. Sebaliknya, jika “pariwisata untuk Bali”, maka yang pertama-tama menjadi pertimbangan adalah bagaimana mempertahankan dan melestarikan alam Bali, budaya dan seni Bali, serta adat istiadat agama masyarakat Bali. Pariwisata adalah sarana untuk “membiayai dan merawat” alam, budaya dan adat istiadat Bali.
Pariwisata bukanlah agama masyarakat Bali; pariwisata adalah “kendaraan” menjaga alam Bali, pengembangan budaya dan agama masyarakat Bali. Tidak mengorbankan alam. Tidak mengorbankan budaya dan adat Bali. Pulau Bali akan hancur jika pembangunannya didorong ke arah yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal, identitas agama dan budaya Bali.
Salam Indonesia Emas!