Internasional

Kabar Vatican: Menabur Perdamaian Melalui Diplomasi Injil

Quotation:
“Saya akan menyoroti tiga hal. Pertama, kerendahan hati sebagai watak hati. Kerendahan hati memungkinkan seseorang untuk “menjadi kecil” dan percaya bahwa Tuhan dapat melakukan hal-hal besar melalui kita. Di dunia yang dilanda kebencian dan kekerasan, ada risiko jatuh ke dalam pesimisme. Namun, ketika dihadapkan dengan tanggung jawab yang sulit atau tak terduga, kita menaruh kepercayaan kita pada kasih karunia yang menyertai dan menopang misi tersebut,” ucap Kardinal Pietro Parolin.

Vatican City, SINARTIMUR.co.id – “Perwakilan Kepausan adalah pembawa diplomasi Injil, dan merupakan tugasnya untuk mengabdikan dirinya pada mediasi dan dialog dan menjadi penabur perdamaian,” kata Kardinal Pietro Parolin dalam sebuah wawancara dengan Vatican Media.

Sekretaris Negara Vatikan menyampaikan pidatonya pada kesempatan Yubelium Takhta Suci, yang dirayakan pada hari Senin, 9 Juni, dan pada malam audiensi Paus Leo XIV dengan para peserta Yubelium dan pertemuan Perwakilan Kepausan, yang dijadwalkan pada hari Selasa (10/6/2025).

Yang Mulia, Yubelium Takhta Suci memberikan kesempatan untuk pertemuan dan refleksi tentang bagaimana Gereja terlibat dengan dunia. Apa signifikansi peristiwa ini bagi Korps Diplomatik Takhta Suci, khususnya bagi para Nuncio Apostolik?

Yubelium Takhta Suci menghadirkan momen penting persatuan, bahkan bagi para Perwakilan Kepausan. Masing-masing dari mereka menjalani semacam “ziarah” yang terus-menerus, tanpa kemungkinan untuk menetap secara permanen di satu tempat. Ini adalah kehidupan yang terus berpindah—ya—tetapi tidak sendirian. Yubelium mengingatkan kita pada gambaran sebuah keluarga, yang tersebar di seluruh dunia namun tetap bersatu, berkumpul di Roma untuk dekat dengan Paus.

Pertemuan ini memperjelas ikatan antara dimensi lokal dan universal Gereja. Perwakilan Kepausan pertama-tama dan terutama merupakan jembatan antara Vikaris Kristus dan komunitas tempat ia diutus. Pada saat yang sama, ia memelihara hubungan antara Gereja-gereja lokal dan Takhta Suci. Sekretariat Negara memainkan peran koordinasi dalam menjaga persatuan ini, dengan mendukung misi para Perwakilan Kepausan baik di Roma maupun di seluruh dunia.

Nuncio Apostolik memang merupakan perwakilan Paus di pemerintahan nasional dan lembaga internasional. Dalam hal itu, peran mereka jelas diplomatis: terlibat dengan otoritas sipil, berupaya menyembuhkan perpecahan, dan mempromosikan perdamaian, keadilan, dan kebebasan beragama. Mereka melakukan ini bukan untuk mengejar kepentingan nasional, tetapi dipandu oleh visi dunia dan hubungan internasional yang berpusat pada Injil.

Namun, peran mereka tidak dapat direduksi menjadi fungsi kelembagaan semata. Peran itu harus didasarkan pada kehadiran pastoral sejati. Seorang Nuncio, di atas segalanya, adalah seorang pria Gereja—seorang pastor—yang dipanggil untuk mengikuti teladan Kristus Sang Gembala yang Baik. Menjadi seorang pastor berarti mendekatkan diri dengan para uskup, imam, biarawan, dan komunitas yang mereka layani. Itu membutuhkan pandangan gerejawi—kesadaran imam akan tanggung jawab terhadap orang lain.

Dengan cara ini, Nuncio menjadi jembatan antara Penerus Petrus dan Gereja-gereja lokal, antara Gereja dan Negara, dan antara luka-luka dunia dan harapan yang ditawarkan oleh Injil.

“Saya akan menyoroti tiga hal. Pertama, kerendahan hati sebagai watak hati. Kerendahan hati memungkinkan seseorang untuk “menjadi kecil” dan percaya bahwa Tuhan dapat melakukan hal-hal besar melalui kita. Di dunia yang dilanda kebencian dan kekerasan, ada risiko jatuh ke dalam pesimisme. Namun, ketika dihadapkan dengan tanggung jawab yang sulit atau tak terduga, kita menaruh kepercayaan kita pada kasih karunia yang menyertai dan menopang misi tersebut,” tandasnya.

Ia menegaskan, “Di samping kerendahan hati, saya akan menekankan semangat penginjilan. Wakil Kepausan adalah pembawa diplomasi Injil, yang dipercayakan untuk membawa terang Kristus bahkan ke pelosok-pelosok Bumi yang paling terpencil sekalipun.”

Terakhir, Wakil Kepausan harus menjadi orang yang suka berdamai. Misi diplomasi kepausan adalah untuk mendukung upaya Bapa Suci untuk membangun dunia yang berakar pada kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Dalam konteks saat ini, Wakil Kepausan dipanggil untuk mengabdikan dirinya pada mediasi dan dialog. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjalin jalinan kerja sama internasional dan melihat bahkan keinginan yang paling samar untuk perdamaian di antara pihak-pihak yang terpecah.

“Kita harus menanggapi panggilan Bapa Suci untuk menjadi penabur perdamaian, dengan menyadari bahwa dalam diplomasi, pihak lain bukanlah musuh, melainkan sesama manusia yang harus kita ajak bekerja sama,” ungkapnya.

Dalam dunia yang terus berkembang, bagaimana pembinaan diplomatik para imam muda dapat mengimbangi tantangan kontemporer?

Selama 300 tahun, Akademi Gerejawi Kepausan telah bertanggung jawab untuk membina para imam muda yang tengah mempersiapkan diri untuk memasuki dinas diplomatik Takhta Suci. Reformasi terkini yang dilakukannya berupaya memperbarui dan memperkuat pembinaan tersebut sehingga dapat lebih baik menanggapi kompleksitas dunia modern.

Tujuan dari fase baru dalam diplomasi Vatikan ini adalah untuk mengirimkan perwakilan yang kompeten secara profesional dan sangat bersemangat dalam semangat evangelis. Para diplomat ini dipanggil untuk meneruskan Magisterium Petrus sebagai instrumen persekutuan, penabur perdamaian, dan pembangun hubungan yang ditandai oleh solidaritas dan harmoni di antara masyarakat.

Editor/Translator: Francelino
Sumber: Vatican News

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button