
Quotation:
Pada tanggal 25 Maret 2020 PT. EKI dan PT. YG melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro sebesar 113 Miliar bertanggal 30 Maret 2020 dokumen kepabeanan dan dokumen lainnya sengaja menggunakan data PT. PPM karena PT. EKI tidak punya ijin penyaluran kesehatan serta tidak memiliki gudang dan Non PKP,” ucap Angas.
Singaraja, SINARTIMUR.co.id – Aktivis anti korupsi Gede Angastya ternyata sudah melaporkan dugaan keterlibatan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar GSL dalam tindak pidana korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) tahun 2020 ke KPK sejak tahun 2024 lalu. Bahkan pria yang disapa Angas itu dua kali melakukan laporan keterlibatan GSL ke komisi antirasuah itu pada tanggal 22 Mei 2024 dan 5 Desember 2024.
Nah, tanggal 5 Januari 2025, Angas kembali mendatangi KPK di Gedung Merah Putih di Jalan Kuningan Persada Kav. K4 Jakarta Selatan, menyerahkan informasi tambahan Pengaduan Masyarakat Nomor 2024-A-04272 tentang Dugaan TPK APD di Kementerian Kesehatan tahun 2020 yang melibatkan anggota DPR RI GSL dari Fraksi Golkar Dapil Bali.
“Berdasarkan laporan informasi yang kami sampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 22 Mei 2024 dan 5 Desember 2024, maka, bersama ini, kami berikan informasi tambahan terkait dugaan tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta kesalahan prosedur yang diduga dilakukan oleh oknum Anggota DPR RI Fraksi Golkar Dapil Bali GSL terkait pengadaan APD di Kementrian Kesehatan tahun 2020,” tulis Angas dalam surat pengantarnya saat membawa tambahan informasi ke KPK tertanggal 5 Januari 2025, yang diterima media ini Rabu (5/2/2025) siang.
Dalam surat itu, Angas menguraikan secara panjang lebar tentang proses pengadaan APD hingga proses hukum yang menjerat sejumlah pihak yang telah ditetap sebagai tersangka oleh KPK seperti BS selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian RI; SW selaku Direktur Utama PT. Energi Kita Indonesia (PT. EKI); dan AT selaku Direktur Utama PT. Permana Putra Mandiri (PT. PPM), selanjutnya KPK juga telah melakukan penahanan terhadap saudara AT untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 1 November sampai 20 November 2024 di Rutan Cabang Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rumah Tahanan KPK Gedung ACLC atau Gedung C1.
“Pada tanggal 22 Maret 2020 saudara SDK dan saudara SW selaku Dirut PT. EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai autorized seller APD sebanyak 500.000 set dengan nilai tergantung nilai tukar dolar pada saat pemesanan. Pada tanggal 22 Maret 2020 PT. PPM dan PT. EKI menandatangani kontrak kerjasama distribusi APD dengan margin 18,5% diberikan kepada PT. PPM,” ungkap Angas.

Angas menguraikan, pada 24 Maret 2020 dalam rapat saudara HM selaku KPA BNPB melakukan negosiasi harga APD dengan SW agar diturunkan dari harga 60 Dolar USD menjadi 50 Dolar USD, penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD merk yang sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya yaitu sebesar Rp.370.000. “Dalam rapat juga disimpulkan PT. PPM akan menagih pembayaran sebesar Rp.170.000,-/set yang didistribusikan TNI dengan harga Rp.50.000,-/set artinya 50 USD/set atau harganya sekitar Rp.700.000,-, hal ini ada gap antara Rp.370.000,- dengan harga Rp.700.000,-/set,” beber Angas dalam suratnya kepada KPK.
Angas menungkapkan, “Pada tanggal 25 Maret 2020 PT. EKI dan PT. YG melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro sebesar 113 Miliar bertanggal 30 Maret 2020 dokumen kepabeanan dan dokumen lainnya sengaja menggunakan data PT. PPM karena PT. EKI tidak punya ijin penyaluran kesehatan serta tidak memiliki gudang dan Non PKP.”
Dukungan informasi yang disampaikan Angas ke KPK untuk melengkapi laporan yang dilakukan sebelumnya antara lain bahwa dalam akte Nomor 47 susunan pengurus dan pemegang saham antara lain GSL bersama bersama beberapa orang menjabat sebagai Komisaris PT EKI, sedangkan di saat yang bersamaan GSL menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI membidangi kesehatan sebelum digantikan oleh anaknya ABPL pada bulan Juni 2020.
“Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam pasal 236 angka (2) “Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokad atau pengacara, notaris dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai Anggota DPR” dan angka (3) “Anggota DPR dilarang melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”,” beber Angas.
Angas memaparkan, dalam kontruksi perkara tersebut terdapat perbuatan hukum diantaranya PT. EKI dan PT. YS terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki ijin penyaluran alat kesehatan atau IPAK hal tersebut berlawanan dengan ketentuan Permenkes No.1191/MENKES/PER/8/2010 bahwa penyalur alat kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes.
“Kedua kerjasama antara PT.PPM, PT. EKI, PT. YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat hal tersebut berlawanan dengan Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 dimana pengusaha dilarang secara bersama sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran sehingga terbentuk monopoli,” beber Angas.
:PT. EKI dan PT. PPM tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang atau jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat yaitu efektif, transparan dan akuntabel. Hal tersebut tidak sesuai dengan surat edaran LKPP No. 3 Tahun 2020 dalam hal ini huruf E Nomor 2 dan 3 yaitu terkait harga ditetapkan berdasarkan bukti kewajaran harga yang diberikan oleh penyedia,” sambung Angas.
Dia juga mengungkapkan bahwa penetapan PT. EKI sebagai penyedia APD sangat tidak relevan dikarenakan perusahaan tersebut tidak mempunyai pengalaman dalam mengadakan APD sebelumnya.
“Berdasarkan audit BPKP menyatakan ada kerugian keuangan negara sebesar Rp.319 miliar dalam pengadaan APD tersebut dan perbuatan para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 3199 jounto UU Nomor 20 tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jounto Pasal 55 ayat 1 ke 1 Undang-undang Hukum Pidana,” pungkas Angas.
Bagaimana tanggapan GSL? GSL yang merupakan anggota DPR RI dari Dapil Bali itu belum memberikan tanggapan terhadap laporan dugaan keterlibatan dirinya dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan APD Covid-19.
Media ini sudah melakukan komfirmasi ke GSL pada hari Rabu (5/2/2025) malam pukul 19.46 Wita melalui nomor WA-nya, namun ditunggu hingga hari Kamis (6/2/2025) pukul 18.35 Wita belum ada tanggapan dari GSL.
Writer/Editor: Francelino