HukumNasional

Ahli Hukum Pidana, Prof Sadjijono: “Sertifikat Asli dan Sertifikat Pengganti Harus Sama”

Merubah Data Berarti Sertifikat HPL Pengganti Palsu

Quotation:
“Sertifikat pengganti tidak boleh merubah data (gambar), peta bidang tidak dirubah, batas-batasnya tetap, harus sama. Kalau banyak tulisan-tulisan yang dihilangkan, maka sertifikat pengganti itu adalah sertifikat palsu itu,” tegas Prof Sadjijono.

Surabaya, SINARTIMUR.co.id – Ahli Hukum Pidana, Prof. Dr. Sadjijono, S.H, M.Hum, dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, menyatakan bahwa sertifikat pengganti tidak boleh merubah data (gambar), tidak boleh merubah peta bidang, batas-batasnya tetap, harus sama. Bila terjadi perubahan data/gambar, peta bidang, dan batas-batasnya maka sertifikat pengganti adalah sertifikat palsu.

“Sertifikat pengganti tidak boleh merubah data (gambar), peta bidang tidak dirubah, batas-batasnya tetap, harus sama. Kalau banyak tulisan-tulisan yang dihilangkan, maka sertifikat pengganti itu adalah sertifikat palsu itu,” tegas Prof Sadjijono saat diwawancarai via telpon, Senin (28/7/2025).

Prof Sadjijono dimintai tanggapannya terkait laporan Nyoman Tirtawan di Polres Buleleng tentang aksi dugaan perampasan tanah 45 hektare milik 55 KK petani di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, oleh Pemkab Buleleng saat pemerintahan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana periode 2012-2022.

Prof Sadjijono menjelaskan, sertifikat itu merupakan hasil pendaftaran, dasarnya tidak bisa hanya fotocopy. Jadi, kata dia, harus melakukan penilitian terkait dengan data yuridis dan data atau dokumen. “Untuk identitasnya sertifikat dan sertifikat pengganti harus sama. Merubah (sertifikat pengganti) tidak boleh. Itu memasukkan data palsu namanya. Pejabat nyata-nyata menyalahgunakan wewenang karena nyata-nyata memasukan data yang tidak sesuai dengan dokumen,” papar Prof Sadjijono.

Terkait dengan putusan PTUN yang menyatakan BPN dan Pemkab Buleleng dinyatak cacat hukum (cacat yuridis), Prof Sadjijono secara panjang lebar menjelaskan, “Jadi begini konsep PTUN itu yang namanya cacat yuridis itu ada tiga, pertama cacat wewenang; kedua cacat prosedur; dan ketiga cacat substansi atau isi dari keputusan itu.”

“Kemudian terkait dengan perbuatan melawan hukum maka saat tindakan itu dilakukan oleh pejabat maka perbuatan melawan hukum oleh pejabat itu disebut onrechtmatige daad. Jadi, pejabat yang melawan hukum. Nah, dalam konteks putusan Tata Usaha Negara (PTUN) itu biasanya ketika gugatan itu diterima ada membatalkan putusan yang dikeluarkan karena cacat hukum itu atau memerintahkan kepada pejabat untuk mencabut putusan yang dikeluarkan,” sambung Prof Sadjijono lagi.

“Dari aspek PTUN tadi ada unsur penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang atau melampaui batas wewenang atau mencampuradukan wewenang maka dia pertanggungjawabkan secara perdata. Jadi, bisa digugat secara perdata, nantinya pasal 1365 hukum perdata itu mengatur perbuatan melawan hukum, menimbulkan kerugian maka wajib ganti rugi, gitu. Ini secara konsep perdata dan PTUNnya,” papar Prof Sadjijono.

Prof Sadjijono melanjutkan penjelasannya, “Nah, terkait dengan unsur pidananya, harus ada penyalahgunaan wewenang yang nyata. Ketika melakukan perbuatan melawan hukum itu didasari penyalahgunaan wewenang. Karena apa? Jabatan itu pada prinsipnya tidak bisa dipidana, tetapi individu pejabat itu. Karena itu harus ada unsur penyalahgunaan wewenang di dalam menjalankan jabatan itu. Baru kemudian tanggung jawab menjadi tanggung jawab individu, pribadinya bukan jabatannya. Makanya secara pribadi ketika ada penyalahgunaan wewenang ketika menjalanakan jabatan itu.”

Menanggapi penerbitan sertifikat HP Pengganti di atas SHM milik masyarakat yang dinilai melawan hukum, Prof Sadjijono menyatakan harus melihat tindakan melawan hukum itu dari dua apsek yakni apakah sang pejabat melakukan dengan sengaja atau karena lalai.

Menurut fakta tindakan Bupati Buleleng Putu Agus Suradanyana (bupati periode 2012-2022) tidak mungkin lalai karena Bupati Buleleng kala itu pernah bersurat ke BPN Buleleng memohon agar sertifikat milik masyarakat SHM) dibatalkan. Ironisnya, belum ada jawaban dari BPN Buleleng, malah Pemkab Buleleng (Bupati Buleleng) mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat HPL Pengganti.

“Berarti dinyatakan bahwa terkait dengan tindakan pejabat itu Buapti dan BPN itu cacat hukum, berarti harus mengembalikan seperti keadaan semula,” tegas Prof Sadjijono.

Writer/Editor: Francelino

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button